Panen Padi di Ambon; Dari Lahan Sempit, Lahir Harapan Baru

  • Whatsapp

SNI.ID, AMBON : Matahari pagi di Kelurahan Tihu, Kecamatan Teluk Ambon, baru saja naik setinggi pohon kelapa. Udara terasa lembab usai hujan malam. Di sebidang tanah berukuran 10×30 meter, batang-batang padi kuning keemasan bergoyang pelan diterpa angin.

Basir, pemilik lahan itu, berdiri dengan sabit kecil di tangan. Bersamanya, beberapa anggota Kelompok Tani Rajawali dan Bhabinkamtibmas Kelurahan Tihu, Aipda Hasan Helut, mulai menundukkan badan, memotong batang demi batang.

Suasana sederhana itu berubah jadi peristiwa kecil yang penuh makna. Dari lahan sempit tersebut, Jumat (5/9/2025), mereka berhasil mengumpulkan 100 kilogram gabah. Angka yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan hasil panen sawah di Pulau Jawa atau Sulawesi. Namun, di kota Ambon yang lebih dikenal dengan laut, rempah, dan sagu hasil itu terasa seperti mukjizat.

Tak ada yang menyangka Basir, seorang warga biasa, bisa memanen padi di tengah kota.

Awalnya ia hanya iseng. Tiga bulan lalu, ia menabur benih di tanah kosong di samping rumahnya. Banyak yang ragu. “Ambon bukan tanah padi,” kata seorang tetangga. Bahkan, Basir sendiri tak yakin.

“Saya hanya ingin lihat apakah bisa tumbuh,” katanya sambil tersenyum, masih berkeringat seusai panen.

Tapi, benih itu tumbuh. Hijau segar, makin lama makin kokoh. Hujan yang cukup dan tanah yang ternyata subur memberi harapan. Hingga akhirnya, batang-batang padi itu menguning, menandai saat panen tiba.

“Ternyata bisa juga. Malah hasilnya lebih bagus dari yang saya kira,” ujar Basir.

Aipda Hasan Helut, yang sehari-hari bertugas sebagai Bhabinkamtibmas di Kelurahan Tihu, menyebut panen perdana ini sebagai inspirasi. Menurutnya, di tengah keterbatasan lahan, warga tetap bisa berkreasi.

“Panen ini memberi motivasi, bahwa lahan kecil pun bisa menghasilkan pangan,” katanya.

Baca Juga:  Pengurus Sekolah SMP Kristen Saparua Klarifikasi Lalai Turunkan Bendera Hingga Malam Hari

Panen Basir juga seolah menampar kenyataan bahwa Ambon masih sangat bergantung pada pasokan beras dari luar daerah. Hampir seluruh kebutuhan beras kota ini didatangkan dari Jawa dan Sulawesi. Itu sebabnya harga beras kerap bergejolak, apalagi ketika cuaca buruk mengganggu distribusi kapal.

Dalam konteks itulah, panen 100 kilogram gabah dari lahan sempit terasa seperti sinyal kecil, swasembada pangan bisa dimulai dari halaman rumah.

Pengalaman Basir memperlihatkan bahwa pertanian kota (urban farming) bukan hanya soal sayur-mayur dalam pot atau hidroponik. Di Ambon, padi pun ternyata bisa tumbuh. Meski lahannya terbatas, hasilnya tetap nyata.

“Kalau ada seratus orang seperti Pak Basir yang berani coba, kita sudah punya satu ton beras,” kata seorang anggota Kelompok Tani Rajawali sambil tertawa kecil.

Pernyataan sederhana itu menyimpan logika kuat, kemandirian pangan lahir dari inisiatif banyak orang, bukan dari satu kebijakan besar saja.

Panen ini mungkin masih jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan kota. Namun, sebagai langkah awal, ia memberi energi baru.

Basir pun sudah berencana melanjutkan penanaman untuk musim berikutnya.

“Kalau hasilnya bagus, siapa tahu bisa jadi tambahan penghasilan,” ujarnya.

Bagi Ambon, cerita Basir adalah pengingat, bahwa harapan bisa tumbuh dari sebidang tanah yang dianggap biasa-biasa saja. Bahwa kemandirian pangan bisa berawal dari coba-coba seorang warga sederhana. Dan bahwa dari lahan sempit, lahir ide besar sebuah inspirasi bahwa kota tanpa sawah pun bisa memanen padi. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *