SNI.ID, JAKARTA : Aziz Fidmatan, warga Kota Tual, menyampaikan pengaduannya ke Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (RI) terkait dugaan pemerasan dan rekayasa fakta hukum yang dilakukan oleh oknum jaksa di Tual berinisial Happy Notanubun bersama rekan-rekannya dalam penanganan kasus di SMA Negeri Tayando, Kota Tual, pada 2016.
Aziz mengungkapkan, laporan tersebut sudah disampaikan sejak 2016, namun hingga kini belum mendapat kejelasan baik dari Komisi Kejaksaan maupun bidang pengawasan Kejaksaan, termasuk Kejaksaan Tinggi Maluku.
“Pertama-tama saya memberikan apresiasi kepada Ketua Komisi Kejaksaan yang baru, Prof. Pujiono, karena telah merespons laporan saya. Sebelumnya saya menilai tidak ada respons positif terhadap pengaduan tersebut,” kata Aziz di Jakarta, Selasa (15/9).
Ia berharap Komisi Kejaksaan sebagai lembaga eksternal yang mengawasi kinerja kejaksaan dapat menindaklanjuti laporannya sehingga ada kepastian hukum bagi pelapor, sekaligus memproses dugaan pelanggaran kode etik oleh oknum jaksa yang dilaporkan.
Selain ke Komisi Kejaksaan, Aziz juga melakukan audiensi dengan Komisioner Komisi Yudisial (KY) RI pada 3 September 2025, yang tercatat dalam nomor penerimaan 0084/L/KY/III/2023 tanggal 5 September 2023.
Dalam laporannya, Aziz menyoroti beberapa hal yakni Meski Ketua Majelis Hakim Alex T.M.H. Pasaribu bersama hakim lain telah dijatuhi sanksi KEPPH oleh KY melalui Putusan Nomor 0063/L/KY/11/2017 tanggal 6 April 2020 dalam perkara Nomor 08/Pid.Sus-TPK/2016/PN Ambon, namun putusan tersebut dinilai belum memenuhi rasa keadilan karena kerugian yang dialami dirinya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak sebanding.
Pelaporan tahun 2017 berbeda dengan laporan tahun 2023. Pada 2023, Aziz melampirkan Putusan Komisi Informasi Maluku Nomor 003/KI-MAL/VII/2022 tanggal 20 Januari 2022 serta bukti-bukti tambahan untuk menguatkan adanya dugaan rekayasa dokumen, alat bukti, dan keterangan saksi oleh majelis hakim.
Menurutnya, tindakan merekayasa dokumen dan keterangan saksi bukan bagian dari ranah teknis yudisial dalam independensi hakim, melainkan bentuk kesengajaan untuk mempidanakan seseorang secara melawan hukum.
“Berdasarkan uraian itu, saya memohon Komisioner Komisi Yudisial melakukan analisis lanjutan agar penyelesaian perkara ini bisa memberikan rasa keadilan,” ujar Aziz menegaskan.